NAMA: DIANA
NIM: 170321100051
KELAS: AGRIBISNIS A
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI HARGA DAN KETERSEDIAAN
BERAS DI TINGKAT NASIONAL
Beras merupakan komoditas yang
strategis bagi Bangsa Indonesia. Secara historis komoditas beras tidak hanya
sebagai komoditas ekonomi melainkan juga komoditas sosial-politik. Hal ini
tampak sejak Pemerintah Hindia-Belanda, beras menjadi sumber kalori utama bagi
para gerilyawan. Beras juga merupakan satu-satunya komoditas yang mengawal
pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintahan Orde Baru. Kegagalan
dalam penyediaan pangan utama akan bisa menimbulkan dampak sosial-politik yang
sangat mahal.(Widodo,
2014)
Faktor yang menyebabkan prediksi impor beras
sangat tinggi menurut Krisnamurti (Kompas, 2003) adalah: (1) keterlambatan
panen musim rendeng (juga akan berakibat pada keterlambatan pada musim tanam
gadu), sehingga bisa memperparah produksi beras dalam negeri, (2) insentif
kenaikan harga dasar gabah diperkirakan belum mampu menaikkan produksi, dan (3)
kemungkinan dampak El Nino tahun 2003 lebih besar dibanding tahun 2002.
Kebijakan menaikkan harga dasar gabah dinilai tidak memberikan insentif bagi
petani yang melakukan produksi karena pada saat yang bersamaan harga-harga
barang lain mengalami kenaikan. Panen musim rendeng menyumbang 60-65 % produksi
padi total tiap tahunnya.(Widodo,
2014)
Pada tahun 1998 harga beras dunia
lebih rendah daripada harga domestik karena terjadi oversupply, sehingga
importir swasta, yang pada dasarnya ingin memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya, melakukan impor dalam jumlah besar dan menjualnya dengan
harga lebih murah di dalam negeri. Dengan telah bergesernya selera konsumen
dalam memilih produk pangan impor, yang dianggap memiliki kualitas lebih baik serta
ditunjang dengan harga yang lebih murah dibanding beras domestik, maka konsumen
memilih untuk mengkonsumsi beras impor (Widodo,
2014)
Secara keseluruhan dapat diketahui
bahwa ketersediaan beras di tingkat nasional setelah krisis meningkat secara
signifikan, terutama pada produksi dalam negeri. Laju produksi dalam negeri
yang signifikan ini berdampak pada menurunnya impor beras dan meningkatnya
kesejahteraan rumahtangga petani. Berdasarkan pengaruh masing-masing faktor
penentu ketersediaan beras nasional tersebut dapat diperhitungkan tingkat
kontribusi faktor-faktor tersebut terhadap pertumbuhan ketersediaan beras
nasional. Secara jangka panjang paling besar kontribusi terhadap pertumbuhan
ketersediaan beras adalah pada indikator produksi(20,768%) lalu kesejahteraan
(11,92%) dan permintaan (9,93%).
Permintaan akan konsumsi beras pada saat sebelum krisis memberikan
kontribusi sebesar 18,34% namun pada saat sesudah krisis menurun menjadi
18,09%. Meskipun demikian ada peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani dari
sebelum krisis sebesar 16,33% menjadi 27,84% pada saat sesudah krisis.(Widodo,
2014)
Hal ini karena adanya peningkatan
produksi padi, di mana sebelum krisis dengan kontribusi 25,02% menjadi 50,74%
pada sesudah krisis dan berdampak pada peningkatan stok beras secara nasional
dari 1,49% sebelum krisis menjadi 1,68% serta menurunnya impor beras dari 4,36%
pada saat sebelum krisis menjadi 2,50% pada saat sesudah krisis. Oleh karena
itu, pemerintah akan terus meningkatkan produksi padi agar tidak terjadi
peningkatan impor kembali dengan beberapa usaha yaitu sebagai berikut:(Widodo,
2014)
1.
Pengembangan
Lahan Sawah (Sawah Bukan Baru)
Perluasan areal
pertanian merupakan salah
satu bentuk perubahan
penggunaan sumberdaya lahan (landuse
change) dari bukan
lahan pertanian menjadi
lahan pertanian. Salah satu misi pembangunan tanaman pangan adalah
mempertahankan ketersediaan bahan pangan. Bahan pangan merupakan komoditas
strategis, ketersediaan bahan pangan mutlak menjadi prioritas karena dapat
menciptakan ketahanan pangan dan stabilitas nasional. (Muslim,
2014)
Salah satu Target Sukses Kementerian
Pertanian bidang pertanian tanaman pangan yang tertuang dalam Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014 adalah surplus beras, swasembada
jagung berkelanjutan, serta swasembada kedelai pada tahun 2014. Kementan
optimis target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014 bisa tercapai. Untuk
memenuhi target tersebut diperlukan beberapa persyaratan, diantaranya yaitu
adanya perbaikan irigasi dan meredam laju konversi lahan. Untuk mendukung
program tersebut adalah melakukan perluasan dan pengelolaan lahan, menurunkan
konsumsi beras dan menyempurnakan manajemen dan dukungan kebijakan dan regulasi
dari kementerian dan lembaga lainnya.(Muslim,
2014)
Konversi lahan sawah umumnya terjadi
pada lahan sawah produktif ke lahan nonpertanian (pemukiman, perkotaan dan
infrastruktur, serta kawasan industri). Menurut Martin Sihombing (2012) bahwa
konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (periode
1992-2002). Sebagian besar lahan sawah yang mengalami alih fungsi lahan sekitar
90% terjadi di Jawa (Jawa Barat, Jojakarta dan Jawa Timur) yang diperkirakan
60% dari produksi padi nasional (Suprapto, 2000). lahan sawah yang terkonversi
tersebut pada mulanya beririgasi teknis atau setengah teknis dengan
produktivitas tinggi (Sumaryanto, 2001). Khudori (2012) mengemukakan juga bahwa
dalam Rentang 2007–2010, di Jawa saja laju konversi rata-rata 200.000 ha per
tahun berupa Lahan sawah beririgasi teknis, nonteknis dan lahan kering.(Muslim,
2014)
Pulau Jawa semakin sulit diandalkan
sebagai pemasok pangan nasional, karena: (1) alih fungsi lahan yang terus
berlangsung; (2) pemenuhan kebutuhan di Jawa sendiri; dan (3) menurunnya
kecukupan air untuk pertanaman padi. Menurut Las et al. ( 2000), pada tahun 2000
Pulau Jawa surplus padi 4 juta ton, namun pada tahun 2010 surplus padi
diperkirakan hanya sebesar 0,26 juta ton. Sementara di luar Pulau Jawa,
permintaan pangan juga terus meningkat.Sehingga Dalam jangka panjang perluasan
areal lahan sawah mutlak perlu dilaksanakan secara terkendali dan bijaksana,
yaitu dengan sawah bukaan baru.(Muslim,
2014)
Akan tetapi jika program ini
benar-benar akan direalisasikan, upaya yang mungkin dapat dipertimbangkan
ialah, pertama lahan yang dibuka bukanlah hutan atau area vital konservasi alam
namun lahan-lahan marginal yang potensial atau lahan rusak yang tidak
dimanfaatkan lagi, kedua teknik pertanian yang dipakai diusahakan merupakan
pertanian organik agar tetap menjaga kesuburan lahan seperti tujuan awalnya,
ketiga intensifikasi lahan dengan cara bertanam polikultur atau dengan kata
lain tidak hanya bertanam padi karena pertanian monokultur dan terus menerus
juga dapat merusak lahan, dan keempat peran serta petani harus benar-benar
diutamakan agar program ini bukan justru menyengsarakan petani melainkan
menyejahterakan petani Indonesia.(Muslim,
2014)
2.Evaluasi Adopsi Teknologi Budidaya
Dan Kelayakan Usahatani Padi
Dalam pelaksanaan pembangunan
pertanian yang berkelanjutan pada dasarnya harus memiliki 3 (tiga) tujuan,
yaitu: tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial (kepemilikan
lahan usahatani yang berkeadilan), dan tujuan ekologis (kelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan), yang ketiganya saling terkait. Untuk mencapai kondisi
tersebut, menurut Hamdani (2006) diperlukan proses menstimulasi dan memotivasi
masyarakat tani dengan memberdayakan kemandirian melalui peningkatan kualitas
sumberdaya manusianya. Tindakan yang demikian akan membentuk sikap dan
kepercayaan diri dalam mengambil keputusan (Farida, 2006). Sejalan dengan upaya
penerapan inovasi teknologi yang dilaksanakan secara teratur dalam kesatuan
tindakan menjadi faktor kunci dan bagian yang tidak terpisahkan untuk mencapai
tujuan bersama (Sumardi, 2006). Oleh karena itu, partisipasi diperlukan untuk
menjamin keberhasilan penerapan teknologi budidaya dalam peningkatan produksi
dan produktivitas usahatani sehingga pendapatan petani meningkat pula (Kasryno
et al., 2001; Syahyuti, 2006). Secara umum inovasi teknologi anjuran merupakan
bentuk paket yang mencakup keseluruhan komponen teknologi yang ada meliputi
teknologi mekanis, kimiawi, dan biologis dan menjadi informasi terhadap
teknologi yang bersangkutan.Penerapan teknologi budidaya padi di tingkat petani
dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:(Zakaria,
Zakaria, Adopsi, Budidaya, & Kelayakan, 2014)
1.
Teknologi
Pengolahan Tanah: kegiatan pengolahan tanah untuk usahatani padi sawah di
lokasi penelitian setiap tanam dilakukan pengolahan traktor tangan, yaitu
dibajak dan digaru. Dengan perlakuan tersebut, berarti kegiatan pengolahan
tanah telah sesuai dengan yang dianjurkan. Untuk musim tanam penghujan periode
waktu pengolahan tanah adalah selama 4 (empat) minggu, sedangkan untuk musim
tanam kemarau 2-3 minggu lahan siap ditanami.
(Zakaria
et al., 2014)
2.
2.
Teknologi Benih Menurut Sumarno (2011) bergantinya varietas padi yang lebih
unggul yang ditanam petani dari waktu ke waktu, menunjukkan bukti empiris bahwa
varietas unggul terbaru lebih baik dari varietas sebelumnya. Dimana untuk
periode tahun 2001-2010 petani memilih varietas Ciherang, Cigeulis, Cibogo,
IR-64, Sinta Nur, Mekongga dan Inpari.(Zakaria
et al., 2014)
3.
3.
Teknologi Pemupukan: pemupukan tanaman secara tepat waktu dan tepat jumlah
secara berimbang menjadi faktor penentu dalam peningkatan produktivitas.(Zakaria
et al., 2014)
4.
4,
Teknologi Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan pertanaman secara baik dan teratur
merupakan kegiatan yang penting dan berpengaruh dalam mempertahankan
produktivitas yang telah dicapai. Pengendalian organisme pengganggu tanaman
(OPT) pada usahatani padi sawah saat ini yang dianjurkan adalah perlakuan yang
lebih bijaksana dengan penerapan PHT (pengendalian hama terpadu), sehingga
kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan baik.(Zakaria
et al., 2014)
3.Penggunaan Pupuk Organik Non
Komersial Terhadap Hasil Dan Pendapatan Petani Padi
Hingga satu-dua dasawarsa yang akan
datang, pupuk dan pemupukan akan tetap menjadi salah satu faktor dominan yang
dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Begitu penting dan strategisnya peranan
pupuk, maka isu pupuk selalu mengemuka dan menjadi polemik antar para pihak
yang berkepentingan . Varietas unggul yang ditanam secara intensif memerlukan
pupuk dan pestisida pada takaran tinggi serta air yang cukup. Pupuk di masa
datang tetap merupakan sarana produksi yang penting. (Darwis,
2014)
Hal ini ditunjukkan oleh beredarnya
lebih dari 1000 jenis atau merk pupuk anorganik, pupuk organik, pembenah tanah
dan pupuk hayati yang terdaftar di Departemen Pertanian. Teknologi budidaya
tanaman yang tersedia harus mampu meningkatkan dan menstabilkan laju kenaikan
tingkat produtivitas yang tinggi, dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan. Penanaman VUB 2-3 kali per tahun, penggunaan pupuk dan pestisida
yang berlebihan dan berlangsung lama, menyebabkan hilangnya tanaman
kacangkacangan dalam pola tanam padi sawah sehingga mengakibatkan penurunan
populasi biota tanah yang berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen tanah,
kelarutan fosfat, serta pemutusan siklus hidup hama dan penyakit menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan dan struktur tanah. Perubahan ini dan keterbatasan
potensi genetik varietas padi telah memicu munculnya gejala kelelahan tanah
(soil fatique). Ini adalah dampak negatif revolusi hijau yang ditengarai
sebagai penyebab dari pelandaian laju kenaikan produktivitas dan produksi padi.
(Darwis,
2014)
Peningkatan produktivitas padi
seharusnya dipacu bersamaan dengan upaya konservasi dan perbaikan kesuburan
tanah, keaneka ragaman hayati dan optimasi sumberdaya, namun hal tersebut
diabaikan selama ini. Masalah pelandaian produktivitas dapat dipecahkan dengan
pemupukan berimbang dan/atau pemupukan terpadu spesifik lokasi yang
mengintegrasikan penggunaan pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk hayati,
maupun bahan amelioran sesuai kebutuhan
tanaman dan status kesuburan tanah.(Darwis,
2014)
Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan
berimbang tidak sama dengan penggunaan pupuk majemuk NPK, namun lebih diarahkan
pada pemberian unsur hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (Setyorini, et
al., 2004). Sampai saat ini pendekatan pertanian organik dan non-organik masih
diperdebatkan antara dua visi bagaimana seharusnya pertanian masa depan. Pada
SRI (system for rice intensificaton) lebih menekankan pada usahatani organik
absolut (absolute organic farming) yang memfokuskan pada penggunaan pupuk
organik untuk memperbaiki kesuburan lahan dan biopestisida untuk pengendalian
hama dan penyakit. Sebaliknya, pendekatan PTT menggunakan usahatani organik
secara rasional (rational organic farming) dimana pupuk organik dan anorganik
digunakan sesuai kebutuhan tanaman dan perbaikan kesuburan lahan. Sedangkan
penggunaan pestisida didasarkan kepada prinsip pengelolaan hama terpadu .(Darwis,
2014)
4.Mina Padi
Dalam usahatani mina padi untuk padi
menggunakan varietas unggul baru Sidenuk pada
lahan sawah irigasi seluas 1 ha. Lahan yang digunakan adalah milik petani
dengan cara disewa. Adapun inovasi teknologi yang diterapkan dalam usahatani
padi adalah pengelolaan tanaman terpadu (PTT) antara lain : Varietas unggul
baru Sidenuk, Sistem tanam jajar legowo, Pemupukan sesuai Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan) nomor 40 tahun
2007, Penggunaan pupuk organik, Pengairan secara berselang-seling (inter
mitten), Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) mengacu pengendalian
hama terpadu (PHT).(Sularno
& Jauhari, 2014)
Dalam pengendalian OPT dilakukan sedini
mungkin, begitu terlihat gejala serangan dan mendekati skala ambang ekonomi
segera dikendalikan. Sedangkan dalam usaha ikan
Nila dengan memanfaatkan lahan
sawah irigasi tehnis dengan cara dibuat kolam di dekat pematang sawah sesuai
kebutuhan. Benih ikan yang ditabur benih
ikan nila sebanyak 6.960 ekor atau dengan kepadatan per M2 sebanyak 20 ekor
benih ikan nila. Dari hasil usaha agribisnis ikan nila pada saat dipanen rata-rata per kg sebanyak 4 ekor. Dalam
agribisnis usahatani mina padi ini dapat menerima pendapatan sebesar Rp
41.420.000,-. Sedangkan keuntungan
bersih (Net profit) memperoleh sebesar Rp 27.469.650,-. Hasil R/C ratio dan B/C
ratio masing-masing sebesar 2,97 dan 1,97.(Sularno
& Jauhari, 2014)
DAFTAR PUSTAKA
Darwis,
V. (2014). Kajian analisis Usahatani Penggunaan pupuk organik non komersial
terhadap Hasil dan Pendapatan Petani Padi, 10(2), 286–297.
Muslim, C. (2014).
PENGEMBANGAN LAHAN SAWAH ( Sawah Bukaan Baru ) DAN KENDALA PENGELOLAANNYA DALAM
PENCAPAIAN TARGET SURPLUS 10 JUTA TON BERAS TAHUN 2014, 10(2), 257–267.
Sularno, &
Jauhari, S. (2014). Peluang Usaha Melalui Agribisnis Minapadi Untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani. Sepa, 10(2), 268–274.
Widodo. (2014). Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Harga dan Ketersediaan Beras di Tingkat Nasional. Jurnal
SEPA, Vol. 10 No(Februari), 229–238.
Zakaria, A. K.,
Zakaria, A. K., Adopsi, E., Budidaya, T., & Kelayakan, D. (2014). Usahatani
Padi Di Provinsi Sulawesi Selatan, 10(2), 217–228.
Komentar
Posting Komentar